No. 13/OKT./2018/INT./KPS
Perihal: Shalat Fardhu Di Kendaraan
Sifat: Wawasan
Tujuan: Member
Perihal: Shalat Fardhu Di Kendaraan
Sifat: Wawasan
Tujuan: Member
*KOPASSUSS: HARAM SHALAT WAJIB DI ATAS KENDARAAN KECUALI DARURAT DAN SAH THAHARAHNYA*
Shalat lima waktu merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah tanpa terkecuali. Sekalipun dalam perjalanan, kewajiban tersebut tidak gugur sedikitpun. Tidak lain karena shalat adalah cara penghambaan kepada Allah yang paling top, the best.
Dalam Islam, ada shalat wajib dan ada shalat anjuran. Shalat anjuran (sunnah, nafilah atau tathawwu’) merupakan upaya terbaik menunjukkan penghambaan lebih dari yang dituntut. Wajar jika kemudian ketentuan shalat sunnah cukup longgar. Bahkan shalat sunnah dapat dikerjakan sekalipun di atas kendaraan dalam posisi duduk dan tidak menghadap qiblat.
✈ Ada kendaraan darat, laut, dan udara. Mobil, bus, truck, kereta, kapal, kapal selam, pesawat, roket, dan lain sebagainya.
'Amr bin Rabi'ah Radhiallahu Anhu berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
"Aku melihat Rasulullah ﷺ di atas hewan tunggangannya bertasbih dengan memberi isyarat dengan kepala beliau ke arah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat-shalat wajib". *[Shahih Al-Bukhari no. 1097]*
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
"Aku melihat Rasulullah ﷺ di atas hewan tunggangannya bertasbih dengan memberi isyarat dengan kepala beliau ke arah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat-shalat wajib". *[Shahih Al-Bukhari no. 1097]*
Imam An-Nawawi menerangkan,
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمَكْتُوبَةَ لَا تَجُوزُ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ وَلَا عَلَى الدَّابَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إِلَّا فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ
“Di dalamnya terdapat dalil, tidak bolehnya shalat wajib tanpa menghadap qiblat dan tidak boleh pula shalat wajib di atas kendaraan, dan ini perkara yang telah disepakati, kecuali keadaan yang begitu mengkhawatirkan.” *[Syarh Shahih Muslim, 5/211]*
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمَكْتُوبَةَ لَا تَجُوزُ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ وَلَا عَلَى الدَّابَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إِلَّا فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ
“Di dalamnya terdapat dalil, tidak bolehnya shalat wajib tanpa menghadap qiblat dan tidak boleh pula shalat wajib di atas kendaraan, dan ini perkara yang telah disepakati, kecuali keadaan yang begitu mengkhawatirkan.” *[Syarh Shahih Muslim, 5/211]*
Shalat wajib boleh dikerjakan di atas kendaraan dengan beberapa syarat,
1⃣ Perhitungan kuat bahwa waktu shalat habis sebelum perjalanan berakhir dan jama’ tidak menjadi solusi.
2⃣ Sudah suci alias berwudhu atau bertayammum di kendaraan atau sebelum naik. Tidak sah tayammum kecuali dengan debu (turab) yang nampak. Kalau ada air dan memungkinan berwudhu, maka tidak sah tayammum.
3⃣ Kendaraan tidak bisa dihentikan sejenak guna turun darinya untuk menunaikan shalat wajib di atas tanah atau di masjid/mushalla.
4⃣ Jika berdiri bisa, maka harus dengan berdiri.
5⃣ Mengulangnya (i’adah) setelah selesai perjalanan, menurut madzhab Syafi’i. Menurut madzhab lainnya tak perlu mengulang.
6⃣ Jika karena darurat seperti khawatir tertinggal rombongan/kafilah/konvoi, maka tetap wajib i’adah.
1⃣ Perhitungan kuat bahwa waktu shalat habis sebelum perjalanan berakhir dan jama’ tidak menjadi solusi.
2⃣ Sudah suci alias berwudhu atau bertayammum di kendaraan atau sebelum naik. Tidak sah tayammum kecuali dengan debu (turab) yang nampak. Kalau ada air dan memungkinan berwudhu, maka tidak sah tayammum.
3⃣ Kendaraan tidak bisa dihentikan sejenak guna turun darinya untuk menunaikan shalat wajib di atas tanah atau di masjid/mushalla.
4⃣ Jika berdiri bisa, maka harus dengan berdiri.
5⃣ Mengulangnya (i’adah) setelah selesai perjalanan, menurut madzhab Syafi’i. Menurut madzhab lainnya tak perlu mengulang.
6⃣ Jika karena darurat seperti khawatir tertinggal rombongan/kafilah/konvoi, maka tetap wajib i’adah.